Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
DAERAHKota PalembangNasionalPeristiwaSosial & BudayaSumatera Selatan

“Kepemimpinan Perempuan Dalam Pergulatan Narasi Perempuan Tidak Bisa Memimpin”

266
×

“Kepemimpinan Perempuan Dalam Pergulatan Narasi Perempuan Tidak Bisa Memimpin”

Sebarkan artikel ini

PALEMBANG.RELASIPUBLIK.COM,- Dalam kehidupan, manusia mengenal istilah seks yang diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki secara biologis dengan fungsi yang tidak dapat dipertukarkan. Perempuan adalah istilah yang digunakan untuk memberikan ciri khas kepada seseorang yang memiliki rahim sehingga bisa mengandung, melahirkan dan menyusui. Hal-hal yang bersifat kodrati inilah yang kemudian digunakan oleh masyarakat untuk juga mengatur peranan perempuan baik peran produktif dan peran perempuan di sosial masyarakat yang hari ini disebut sebagai gender.

Gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang berkaitan dengan nilai, tingkah laku dan peran yang di konstruksi kan oleh masyarakat dan dapat dipertukarkan. Pada umumnya masyarakat mengkonstruksikan perempuan sebagai individu yang lemah, rentan dan tidak dapat berpikir rasional sehingga perempuan hanya dapat berkecimpung di ranah-ranah domestik seperti rumah tangga, hal ini pula yang kemudian melahirkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan seperti labeling, subordinasi, diskriminasi, kekerasan dan beban ganda yang berdampak pada kemiskinan yang dialami oleh perempuan baik di tataran ide, tindakan sampai ekonomi.

Banyaknya kasus ketidakadilan yang dialami oleh perempuan kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran radikal yang bertujuan untuk memerangi patriarki (sebuah paham/ sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti) dan mencoba untuk merumuskan ulang bagaimana perspektif dunia memandang perempuan sebagai subyek yang utuh, dapat berpikir dan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan masyarakat. Narasi kesetaraan dan keadilan gender inilah yang kemudian banyak digaungkan oleh aktivis-aktivis perempuan sebagai desakan kepada pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan setiap suara-suara yang muncul dari perempuan dan membuat kebijakan yang tidak bias gender. Untuk membuat kebijakan yang ramah dengan kebutuhan perempuan diperlukan keterlibatan atau partisipasi perempuan dalam merumuskan hal tersebut. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan bahwa “Partai Politik baru dapat mengikuti pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat”. Meskipun demikian suara-suara perempuan masih saja menjadi persoalan ketika merumuskan kebijakan. Hal ini merupakan tantangan yang besar bagi kepemimpinan seorang perempuan di kehidupan sosial masyarakat.

Pada dasarnya kita semua adalah pemimpin di muka bumi, hal ini dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al Baqarah: 30).

Berdasarkan surat tersebut ditunjukkan bahwa setiap dari kita adalah pemimpin baik laki-laki maupun perempuan, meskipun kepemimpinan perempuan masih sering diperdebatkan karena konstruksi masyarakat.

Seyogyanya kepemimpinan perempuan bukan lah suatu hal yang harus diperdebatkan, fakta sejarah menunjukkan bahwa telah banyak perempuan-perempuan yang memimpin seperti Ratu Balqis pada zaman Nabi Sulaiman SAW, Cleopatra, Corrie Aquiono, Benazir Bhutto, Mararet Theatcher yang hingga hari ini strategi dan taktik kepemimpinan nya masih banyak di adopsi oleh beberapa kalangan.

Bukan hanya itu, beberepa riset yang melakukan kajian tentang gaya kepemimpinan perempuan mengatakan bahwa ada perbedaan yang inheren antara laki-laki dan perempuan ketika memimpin. Perempuan cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih demokratis, partisipatif dan interaktif ketimbang laki-laki yang mendasarkan pada kontrol dan perintah. Hal ini dikarenakan perempuan lebih mengandalkan hubungan keakraban yang dibangun dengan output untuk memberdayakan semua anggotanya dengan prinsip keadilan. Prinsip ini sejatinya lahir dari naluriah seorang perempuan yang notabene nya adalah seorang ibu. Maka tak khayal jika banyak yang mengatakan bahwa “keadilan dimulai dari rahim seorang perempuan, yang membagi asupan makanan ibu kepada bayi yang sedang di kandung”

Sejatinya baik laki-laki maupun perempuan merupakan subyek yang utuh. Narasi perempuan tidak bisa memimpin dapat ditepis dengan berbagai hasil riset yang sudah dilakukan dan didukung oleh fakta sejarah. Maka dari itu penting sekali hari ini melihat individu dari bagaimana ia mampu dalam memahami persoalan, merumuskan penyelesaian dan mitigasi persoalan bukan dilihat dari jenis kelamin yang melekat pada tubuhnya saja.( Ocha/ Rilis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *