Relasipublik.com | Banten
– Yang disebut berita itu dalam pemahaman jurnaĺistika hanya sebatas mengungkap kejadian seadanya saja. Tidak ada perlu ada tambahan pendapat untuk menguatkan berita yang hendak disampaikan itu.
Inilah sebabnya dalam khazabah jurnalistika berita itu sering disebut juga news.
Yang penting dari berita itu cucup memenuhi syarat 5W + 1H. Yaitu ; apa, siapa, dimana, mengapa, bilamana dan bagaimana kejadian atau peristiwa itu sudah cukup seperti jenis karya jurnalistik lain. Meski ada beberapa jenis karya kurnalistik yang tidak perlu selengkap itu.
Berbeda dengan laporan bagi seorang Jurnalis yang acap dominan menjadi pilihan. Karena kesaksian bisa juga ikut ditampilkan sebagai pengukuhnya untuk informasi bagi para pembaca. Jadi laporan dapat menjadi kesaksian penulis yang bisa melihat peristiwa atau kejadian di tempat kejadian itu terjadi. Jika tidak begitu, maka berita itu belum memenuhi syarat untuk disebut berita yang akurat.
Lain lagi ceritanya mengenai feutures, sebagai cerita yang bertutur panjang. Semua yang ditulis adalah kesaksian dari penulis yang bersangkutan langsung di lapangan dengan gaya bertuturnya yang khas dan menawan sehingga para pembacanya bisa larut asyik di dalamnya.
Biasanya bagi penulis yang sudah cukup berpengalaman, pembaca bisa segera masuk seakan-akan merasa telah menjadi bagian dari cerita itu.
Ada juga jenis tulisan artikel atau opini yang sifatnya lebih ilmiah tapi dikemas dalam bahasa yang enak seperti umumnya gaya dari karya jurnalistik pada umumnya. Seperti motto sebuah media yang telah melegenda di Indonesia misalnya : enak dan perlu.
Adapun yang dimaksud opini atau artikel adalah tulisan ilmiah yang khas merupakan hak sepenuhnya bagi penulis, termasuk tanggung jawab ilmiah serta sanksi hukumnya manakala harus dikenakan sanksi tertentu padanya.
Lalu essai yang lebih bebas ditulis biasanya oleh mereka yang Sudah terbilang ahli dan piawai dalam hal tulis menulis. Bahasa ucapnya lentur langsung masuk kerongga hati para pembanya. Tampilan bahasanya pun lincah dan jenaka. Cirinya khas dan otentik sehingga pembaca setianya dapat dengan gampang mengenalnya, meski belum mengetahui siapa penulisnya. Ide dan gagasan serta sudut pandang dari yelaahnya nyaris tak pernah dipikirkan banyak orang. Wawasan pengungkapannya luas memapar atau mengurai suatu masalah mengembara dengan daya jelajah yang luar biasa, tampa menyesatkan. Sebab essensi dari essai itu membuka cakrawala untuk melihat realita — meski acap tersamar– dalam pendangan yang tetap mencerahkan.
Pendek kata, sebuah essai bisa disimpulkan dalam beragam perspektif dari beragam kwadran yang bisa dipilih dengan suka cita selera pembaca sendiri. Selain itu ragam jenis kelamin karya tulis lain yang sering ikut parade bersama karya jurnalistik di media massa cetak maupun online seperti cerita pendek, karena memang paparan tulisannta suatu kisah yang memang pendek. Lantatan itu pun sosoknya disebut cerpen atau cerita pendek.
Karena adanya cerita pendek itu maka ada pula cerita panjang yang dibuat cerbung atau cerita bersambung. Sebab kalau tidak sambung menyambung mana mungkin bisa dimuat sekaligus jika panjangnya ratusan halanan. Tapi intinya cerbung itu diangkat menjadi anak asuh jurnalistik untuk ikut menambah daya pikat menu sajian media cetak agar bisa ikut menggaet para pembaca. Persis seperti film berseri di media audiovisual atau cebung pada media audiotive.
Atau seperti karya-karya lain yang diadopsi oleh jurnalistik, seperti TTS (teka teki silang), atau komik (cerita bergambar) dan sebagainya.
Yang spesial adalah karya jurnalistik dalam bentuk tajuk. Biasanya tulisan ini hanya menjadi hak khusus Pemimpin Redaksi atau wakilnya bersama Redaktur Pelaksana (Redpel). Sebab tajuk itu merupakan sikap resmi redaksi untuk edisi penerbitan tersebut guna menggambarkan posisi dari media tersebut pada berita utamanya yang menjadi unggulan sajian.
Begitulah serba serbi karya jurnalistik yang bisa dikenal. Bisa saja ada yang mengenal ragam macam jenis karya jurnalistik dalam bentuk dan wajah yang lain. Tapi semua pemaparan tadi cukuplah bisa membekali pemahaman kita bisa berseluncur di media sosial agar tidak sampai terkilir atau terjebak pada UU ITE yang bisa menjerat kita masuk penjara. Dengan pemahaman singkat ini pula dapatlah segera dibayangkan apakah kita bisa menjadi seorang jurnalis yang profesional atau jurnalis abal-abal ?
Banten, 28 Juni 2015
Tulisan ini merupakan rangkuman dari materi Pelatihan Jurnalis Terpakai Bagi Buruh, Mahasiswa dan Ormas Pemuda yang diselenggarakan Atlantika Institut Nusantara bersama Komunitas Buruh Indonesia di Bogor, 25-27 Juni 2015.
Reporter : Levi